Menyikapi kasus penebangan hutan diwilayah hutan sakral Gunung Piyuyan oleh salah satu HPH di daerah ini, Dewan Adat Dayak (DAD) Barito Utara dan Majelis Daerah Agama Hindu Keharingan (MD-AHK) menggelar rapat koordinasi, Senin (31/8) di sekretariat DAD Jalan Bangau 46 Muara Teweh.
Pada rapat tersebut masing-masing peserta tukar-menukar informasi dan pandangan untuk mencari solusi terbaik penyelesaian kasus Gunung Piyuyan tersebut, rapat menyimpulkan dua hal, pertama masalah yang terjadi saat ini harus diproses secara adat Dayak yang berlaku di wilayah Kedamangan Gunung Purei, berkaitan dengan hal tersebut pihak MD-AHK telah mengajukan tuntutan adat kepada Damang Gunung Purei dan mendesak untuk segera disidangkan. berkenaan dengan hal ini DAD Barito Utara akan mengawal proses adat tersebut.
Kesimpulan kedua, bahwa pada gugusan yang terdiri dari Gunung Lumut, Gunung Panyanteau dan Gunung Piyuyan sebagai satu gugusan kawasan sakral tidak boleh ada aktivitas pertambangan, perhutanan (HPH) maupun perkebunan, untuk itu kedua lembaga sepakat untuk memperjuangan status kawasan tersebut berupa hutan adat atau status lainnya yang dapat menjamin kawasan tersebut terjaga kesakralannya.
Untuk maksud tersebut perlu dilakukan pemetaan ulang kawasan tersebut secara partisipatif yang melibatkan tokoh adat desa Muara Mea, Pemerintah Desa Muara Mea, Damang Gunug Purei dan Pemerintah Kecamatan Gunung Purei, MD-AHK, DAD serta instansi teknis baik dari tingkat kabupaten maupun provinsi., Peta tersebut nantinya sebagai bahan pengajuan status kawasan tersebut kepada Pemerintah.
Rapat koordinasi ini dipimpin langsung oleh ketua DAD Barito Utara Drs Jonio Suharto, M>IP dan Ketua MD-AHK Barito Utara Ardianto, SH serta dihadiri oleh sejumlah peserta rapat dari pengurus DAD dan pengurus MD-AHK Barito Utara.